Polisi dan Korupsi
KABAR santer Bapak X semasa menjabat Kepala Polri melakukan korupsi dan menerima suap dalam jumlah yang sangat besar sungguh mengejutkan. Semoga hal ini merupakan kabar angin saja. Akan tetapi, apabila di kemudian hari berita-berita itu terbukti kebenarannya, amat sangat patut disayangkan. Sebab, peristiwa ini akan semakin menambah citra buruk bagi kepolisian.
Profesi polisi adalah profesi mulia (nobile officum) sebagaimana profesi-profesi terhormat lainnya yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kepada Kepolisian RI (Polri) senantiasa diharapkan jasanya untuk melindungi rakyat dari gangguan orang-orang jahat, memelihara ketertiban umum dan membimbing masyarakat agar taat hukum. Akan tetapi, profesi semulia apa pun apabila kerap kali dikotori oleh para pelakunya sendiri, lama-kelamaan akan menurunkan derajat kemuliaan profesi yang bersangkutan.
Kecenderungan kepolisian atau oknum polisi berbuat menyimpang sesungguhnya bukan monopoli kepolisian di republik ini. Di Inggris, di mana keramahtamahan polisinya telah menjadi legenda, tetap saja banyak polisi yang masih mempergunakan asas The end justifies the means, (tujuan menghalalkan cara), (Fattah, 1997).
Di Kanada, pemerintahnya sampai dua kali membentuk komisi untuk memeriksa Royal Canadian Mounted Police (RCMP). Yang pertama Komisi MacDonald (1997) dan kedua Komisi Keable (1981). Kesaksian-kesaksian yang diberikan di hadapan kedua komisi tersebut semakin memperkuat bukti-bukti bahwa Kepolisian Kanada (RCMP) telah melakukan a wide range of crimes and illegal activities (serangkaian tindakan kejahatan dan melanggar hukum secara luas).
Asal-usul perilaku polisi yang negatif barangkali bisa dilacak sampai pada pertukaran antara kekuasaan yang diberikan kepada polisi dan faktor peluang. Faktor peluang menjadi sangat dominan sejak ia berada di jajaran terdepan dari eksekutif, yaitu berhubungan dengan masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1993). Faktor peluang itu timbul terutama disebabkan oleh kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada polisi untuk mengambil tindakan dalam situasi tertentu menurut "pertimbangan sendiri" atau kekuasaan diskresi-fungsional menempatkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam penegakan hukum.
Dengan kekuasaan diskresi-fungsional itu, hukum di tangan polisi menjadi hidup. Secara sosiologi, yang kemudian terjadi adalah it doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy (police) interprets the law to say. Terjemahan-terjemahan polisi atas hukum ke dalam tindakan-tindakan nyata itu yang merupakan realitas hukum yang sebenarnya.
Bagi polisi yang kurang memiliki integritas moral yang cukup, kekuasaan itu tentunya sangat menggoda untuk dipergunakan ke arah lain yang bukan untuk tegaknya hukum dan keadilan masyarakat. Demi untuk kepentingan pribadi, misalnya, membelokkan dengan sengaja suatu perkara yang sesungguhnya merupakan perkara perdata menjadi perkara pidana. Yang seharusnya menjadi tersangka, dengan dibungkus alasan hukum tertentu, tidak disidik tersangka, melainkan sekadar sebagai saksi atau malah tidak disidik sama sekali, kecuali hanya diperas.
Membisniskan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan tercela ini sulit diungkap sehingga tetap merupakan dark- number. Kesulitan utamanya adalah karena banyaknya selimut-selimut hukum yang menutupi perbuatan-perbuatan itu yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan oleh polisi, yang kesemuanya nyaris bermuara pada kekuasaan diskresi- fungsional tersebut.
DIKARENAKAN melekat dengan jabatan yang dilindungi oleh hukum, korupsi polisi itu mudah dirasakan dan dilihat, tetapi seakan-akan sulit untuk dipegang. Investigasi terhadap Kepolisian Negara Bagian New York oleh Komisi Knapp barangkali merupakan penyelidikan terbesar atas kasus korupsi di tubuh kepolisian yang belum pernah dilakukan oleh organisasi kepolisian mana pun.
Yang menarik untuk dicermati dari laporan hasil investigasi Knapp itu antara lain adalah; pertama para letnan dan sersan melakukan korupsi sebagaimana yang dilakukan anak buahnya. Di samping itu, para atasan itu juga mendapat jatah tersendiri dari anak buahnya yang terjun ke lapangan yang berada di bawah koordinasinya.
Kedua, korupsi bukanlah sesuatu hal yang baru dan tampaknya sulit dipisahkan dari polisi. Di mana terdapat korupsi polisi, di situ secara paralel juga terjadi korupsi di tempat-tempat lain dalam tubuh pemerintahan, juga dalam dunia industri, perburuhan, dan dalam profesi-profesi lainnya.
Ketiga, komisi juga menemukan bahwa korupsi polisi terjadi juga dikarenakan adanya permintaan dari departemen-departemen kepada polisi untuk mengamankan kepentingannya.
Dari hasil investigasi Komisi Knapp itu, secara samar-samar terlihat bahwa semakin tinggi pangkat dan jabatan polisi, semakin tinggi pula kekuasaan diskresi-fungsioanal yang dimiliki.
Meminjam pembedaan kejahatan dilihat dari status sosial pelaku yang sudah klasik, white collar crime dan blue colar crime, maka kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perwira pemegang jabatan cenderung menyerupai white collar crime, sedangkan yang berpangkat lebih rendah cenderung melakukan kejahatan yang bersifat blue collar atau street crime.
Perampokan di Perumahan Permata Hijau (3/2-2000) yang melibatkan empat sersan dua dari kesatuan Brigade Mobil dan perampokan di kawasan Bumi Serpong Damai oleh seorang sertu (pol) bersama kedua rekan sesama anggota polisi (Kompas 5/2/2000) merupakan bukti bahwa polisi yang belum berpangkat perwira dan belum menduduki jabatan tertentu apabila melakukan tindak kejahatan untuk menguntungkan diri sendiri cenderung bersifat street crime. Adapun kabar angin mengenai X itu, jika kemudian terbukti benar, adalah merupakan stereotip dan white collar crime.
Jika hendak mengubah perilaku dan kinerja Polri, langkah pertama dan utama yang perlu segera dilakukan adalah menata kembali moralitas, yaitu dengan memberi contoh keteladanan. Komandan yang menjalani hidup dengan penuh gaya penuh hedonis-life (memuja harta benda) tidak bisa mengharapkan kepada anak buahnya untuk hidup mencukupkan apa yang ada.
Dalam organisasi yang bersifat linear seperti Polri, moral komandan gampang menular kepada bawahan. Korupsi di tubuh kepolisian mungkin sulit untuk dihilangkan sama sekali, namun paling tidak harus ditekan sekecil mungkin. (DMU, Dari buku Ketika Kejahatan Berdaulat, karangan Prof Dr Tubagus Ronny Nitibaskara)